Rabu, 06 Juni 2012

Jangan Salahkan Perguruan Tinggi

Bisma Yadhi Putra (Foto: dok. pribadi)
Bisma Yadhi Putra (Foto: dok. pribadi)
INI bukan yang pertama kalinya Marzuki Alie mengeluarkan pernyataan kontroversial, dan bisa jadi pula bukan pernyataan terakhir yang mengundang reaksi keras dari aneka pihak. Dalam sebuah forum diskusi yang berlangsung di Universitas Indonesia (UI), Marzuki Alie berpendapat, kebanyakan koruptor di Indonesia merupakan alumni dari beberapa perguruan tinggi ternama dan mantan anggota atau pimpinan beberapa organisasi civil society.

Memang benar, banyak koruptor adalah jebolan beberapa perguruan tinggi ternama. Namun menyalahkan perguruan tinggi atas berkembang biaknya koruptor di Indonesia bukanlah suatu pendapat yang tepat dan bijak. Pihak yang patut disalahkan adalah partai politik dan lingkungan birokrasi yang memang luar biasa korup.

Sejak tahap rekrutmen kader-kader baru saja, banyak partai politik sering mengabaikan tuntutan atas kapabilitas personal kader-kader yang hendak direkrut. Biasanya mereka lebih mengedepankan popularitas atau kemampuan finansial semata. Dengan menjaring kader yang memiliki popularitas yang besar, seperti dari kalangan selebritis, diharapkan kader tersebut bisa dengan mudah meraup banyak suara pada pemilihan umum (pemilu) untuk masuk dalam parlemen.

Demikian pula dengan kader-kader baru yang punya banyak fulus. Mereka dengan mudah direkrut karena sangat menjanjikan tidak hanya untuk pemenuhan logistik partai, tapi juga untuk biaya kampanye yang memadai. Kader-kader seperti ini, yang sejak awal sudah melakukan praktik money politics, dapat dipastikan akan melakukan serangkaian praktik kotor dalam parlemen guna mengembalikan uang yang sudah dikucurkannya untuk memberi “setoran” kepada partai dan menyogok pemilih saat kampanye.

Dengan memberikan sejumlah uang kepada elite-elite di internal partai, seorang kader berharap dapat direkrut ke dalam partai. Dengan masuk ke dalam partai politik, maka dia sudah punya kendaraan untuk maju dalam pemilu. Ibarat naik angkot, si penumpang yang hendak pergi bekerja harus membayar ongkos agar bisa naik dan diantar sampai tujuan. Setelah turun angkot, dia harus bekerja agar memperoleh sejumlah uang untuk ongkos angkot saat pulang. Begitu juga kebanyakan kader-kader partai politik di parlemen, sebelum masa jabatan habis, pantang berhenti mengembalikan modal dan mengisi pundi-pundi rupiah.

Namun bukan berarti semua kader-kader baru – termasuk yang dari kalangan selebritis – partai politik yang duduk di parlemen punya nafsu untuk melakukan praktik korupsi. Masih ada nama-nama yang tetap konsisten berjuang untuk kepentingan rakyat, misalnya Rieke Diah Pitaloka (PDIP) atau Nurul Arifin (Partai Golkar). Masih ada juga yang tidak mau melakukan korupsi. Hanya saja, kader-kader partai politik yang masih konsisten dan benar-benar bekerja untuk rakyat sangat sedikit jumlahnya. Mereka hanya minoritas.

Seandainya semua partai politik menerapkan standar kompetensi yang ketat pada saat perekrutan kader, besar kemungkinan yang terjaring adalah kader-kader yang tidak hanya punya popularitas tinggi semata, tetapi juga punya integritas moral yang baik. Partai politik seharusnya mempelajari track record kader-kader yang akan mereka rekrut; langkah-langkah apa saja yang sudah dilakukan sang kader dalam memperjuangkan kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi.

Kendati pola perekrutan kader-kader sudah memakai standar yang tinggi dan yang terpilih adalah orang-orang dengan kapabilitas yang baik, bukan berarti mereka tidak akan melakukan praktik-praktik kotor dalam parlemen. Konspirasi untuk mengeruk uang negara bisa saja terbangun antara kader-kader di parlemen dengan elite-elite politik dari internal partai. Misalnya ada seorang elite partai yang memerlukan sejumlah uang untuk memuluskan ambisinya agar terpilih sebagai ketua umum. Uang tersebut lalu diperoleh dari praktik korupsi yang dilakukan seorang kader partainya di parlemen. Lalu uang tersebut dipakai untuk menyuap beberapa elite-elite partai di daerah agar memilihnya sebagai ketua umum dalam kongres.

Walaupun kader yang melakukan praktik korupsi tersebut merupakan lulusan perguruan tinggi ternama, dia melakukan kejahatan dalam lembaga negara karena tekanan atau konspirasi politik yang dibangun dalam partai politik. Bukan perguruan tinggi yang salah. Perguruan tinggi tidak mengajarkan metode-metode mengeruk uang negara. Perguruan tinggi mengajarkan bahwa korupsi itu tidak hanya melanggar hukum negara, tetapi juga diharamkan oleh agama.

Jadi perguruan tinggi tidak bersalah kalau ternyata banyak alumninya yang menjadi koruptor. Fakultas Teknik tidak mengajarkan teknik korupsi, Fakultas Hukum tidak mengajarkan agar mahasiswa melanggar hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tidak mengajarkan mahasiswa untuk berpolitik dengan jahat, Fakultas Ekonomi tidak mengajarkan agar mahasiswa memanipulasi angka-angka untuk melakukan mark-up, Fakultas Kedokteran tidak mengajarkan bagaimana trik pura-pura sakit jantung lalu pergi berobat ke Singapura setelah kasus korupsinya terungkap.

Selain partai politik, yang harus dikritik keras adalah lingkungan birokrasi yang korup. Bukan hanya di parlemen, korupsi terjadi di hampir semua lini atau lembaga negara. Saat ini, birokrasi tidak hanya dikelola oleh orang-orang yang punya kemampuan semata, tetapi juga berahi memanfaatkan birokrasi untuk memperkaya diri. Birokrasi membutuhkan orang-orang yang punya kecakapan untuk mengelola institusi. Dalam perekrutannya, memang yang diterima kebanyakan adalah lulusan perguruan tinggi.

Namun ketika terjadi praktik korupsi dalam sistem birokrasi, tidaklah tepat apabila perguruan tinggi yang disalahkan. Tidak sedikit yang diangkat menjadi pegawai negeri karena memberi sejumlah uang sogokan kepada pihak-pihak tertentu. Sudah menjadi rahasia umum kalau ingin mudah lulus tes menjadi pegawai negeri, sejumlah uang harus rela dikucurkan agar bisa diterima. Pola perekrutannya saja sudah korup. Sebelum para pegawai negeri tersebut terpilih, mereka sudah terlebih dulu melakukan praktik yang salah, apalagi ketika mereka sudah bekerja di lingkungan birokrasi yang sejak awal sudah sangat korup pula.

Ketika pertama bekerja, yang mereka pikirkan adalah bagaimana cara mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan sebelumnya. Maka tidak heran banyak terungkap pegawai negeri yang punya rekening dengan saldo mencapai miliaran rupiah. Jangankan lulusan perguruan tinggi, orang-orang yang dikenal sebagai tokoh agamis sekalipun bisa melakukan praktik korupsi. Siapa sangka di Kementerian Agama ada kasus korupsi? Bukankah Kementerian Agama dipimpin oleh orang yang punya pengetahuan yang memadai tentang agama? Bukankah orang tersebut tahu bahwa agama melarang korupsi? Iya, tetapi bukan berarti mereka tidak akan korupsi.

Tetapi kita tidak boleh menyalahkan agama. Yang salah adalah orangnya, dan di lingkungan seperti apa dia bekerja. Tuhan menciptakan pohon-pohon. Lalu manusia memanfaatkan pohon-pohon yang ada untuk diolah menjadi berbagai bentuk kayu. Lalu kayu tersebut dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti membuat kursi, meja atau lemari. Hasil yang diciptakan dari pengolahan kayu tersebut punya manfaat bagi manusia: kita bisa menulis di atas meja, bisa duduk di atas kursi dan bisa menyimpan pakaian di dalam lemari.

Tetapi ketika ada seorang manusia yang menggunakan kayu untuk melukai manusia lainnya, siapa yang salah? Apakah kayu, atau Tuhan selaku pencipta kayu? Kayu tidak bersalah karena tidak bisa bergerak tanpa digerakkan, Tuhan tidak bersalah karena tidak menciptakan kayu untuk digunakan sebagai alat yang bisa merugikan manusia. Demikian pula dengan agama dan perguruan tinggi: tidak ada agama yang menghalalkan korupsi, tidak ada perguruan tinggi yang memerintahkan lulusannya untuk giat berkorupsi.

Kita bisa menerima kalau ternyata banyak koruptor adalah lulusan beberapa perguruan tinggi, baik yang ternama maupun tidak. Namun tentu kita tidak bisa menerima asumsi bahwa semakin tinggi seseorang bersekolah, maka semakin besar kemungkinan dia akan berperilaku korup. Lagi pula korupsi juga tidak hanya dilakukan oleh mereka yang pernah duduk di bangku kuliah semata. Mantan Bupati Aceh Utara, Ilyas A. Hamid, tidak pernah mengenyam pendidikan setingkat perguruan tinggi. Dan kini tengah dijerat kasus penyalahgunaan kas daerah.

Kita juga sepakat kalau banyak yang harus dikritik dan dibenahi oleh berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Kritik yang dilontarkan bukanlah karena lembaga pendidikan yang berwibawa ini melahirkan alumni-alumni yang kemudian menjadi koruptor, tetapi pembenahan kualitas mereka. Saat ini, banyak perguruan tinggi di Indonesia yang kurikulumnya tidak diupdate. Misalnya, program studi Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) sudah memiliki pelajaran psikologi politik, sementara program studi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh belum ada. Di banyak perguruan tinggi di luar negeri, sudah ada program studi yang khusus mengkaji masalah comparative politics. Sementara di banyak universitas-universitas di Indonesia, comparative politics masih sekedar mata kuliah.

Hal-hal seperti inilah yang harus dibenahi. Persoalan ada banyak koruptor yang merupakan alumni dari beberapa perguruan tinggi ternama, memang harus diakui. Tetapi yang salah bukan perguruan tingginya, melainkan kader-kader partai politik dan kebanyakan birokrat yang kini mulai berprinsip: berani kotor itu baik. Dan prinsip tersebut terus ditularkan kepada kader-kader atau pegawai-negeri-pegawai negeri yang baru direkrut. Itulah yang menjadi penyebab pesatnya perkembangbiakan koruptor di Indonesia.

Bisma Yadhi Putra
Mahasiswa Prodi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh
Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara

0 komentar: