AYI JUFRIDAR : JADIKAN HOBI MENULIS SEBAGAI ASET
Siapa sangka, hobi yang awalnya terbangun karena ketiadaan tv di rumah dapat
mengantarkan seseorang menjadi penulis berprestasi. Ayi Jufridar adalah
pelakonnya.
Karena kecintaannya dalam membaca dan menulis, Ayi Jufridar meraih
juara ketiga dalam lomba penulisan novel remaja tahun 2005 yang
dilaksanakan Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo) dan Radio Nederland Seksi Indonesia (Ranesi). Novelnya yang berjudul Alon Buluek menyisihkan 600 lebih naskah yang masuk.
Alumnus Politeknik Negeri Lhokseumawe sejak kecil tidak pernah bermimpi muluk kalau dari hobinya itu mendapat apresiasi dari masyarakat. Karena ia tidak membekali diri dengan pendidikan di bidang tulis menulis sastra. Tapi karena sejak kecil sudah suka menulis, maka bakat itu terus terasah seiring dengan perkembangan dirinya.
“Suka menulis cerita fiksi sejak sekolah dasar. Tapi baru berani
mengirim cerita pendeknya pada 1992 dan dimuat tahun itu juga di
Majalah Aneka Yess! Hobi ini terbangun karena di rumah tidak memiliki
TV. Satu-satunya hiburan ketika itu adalah majalah anak-anak,” ujar
lelaki kelahiran 18 Agustus 1972 kelahiran Bireuen, sebuah kota di
bagian utara Provinsi Aceh
Lelaki yang akrab dipanggil Ayi ini mulai serius menulis ketika
kuliah di Politeknik Negeri Lhokseumawe sejak 1993 sampai 1996. Meski
kuliah di bidang teknik, justru di kampus itu pula bakat dan talentanya
di bidang sastra kian terasah. Apalagi di kampus itu ia kerap bertemu
dengan sejumlah penulis Aceh yang kebetulan juga kuliah di sana.
Pertemuan ini membuat dirinya mendapat teman untuk berdiskusi mengenai
sastra.
“Masa-masa produktif saya menulis cerpen ketika kuliah di
Politeknik, karena biaya kuliah dihasilkan dari menulis artikel dan
cerpen di sejumlah majalah remaja terbitan Jakarta
seperti Anita Cemerlang, Ceria, Aneka Yess!, Gadis, Kawanku, termasuk
sejumlah tabloid perempuan seperti Nova, Wanita Indonesia, dan Aura,”
kata Ayi.
Akhir tahun 1997, ia bekerja di Harian Serambi Indonesia,
satu-satunya harian terbitan Aceh ketika itu. Ketika melamar,
sebenarnya ia tidak memenuhi syarat karena pendidikan minimal S1,
sementara saya D3. Tapi karena punya pengalaman menulis, akhirnya
diterima sebagai koresponden lepas untuk wilayah Lhokseumawe dan
sekitarnya. Pekerjaan sebagai wartawan membuat diri tidak nyaman untuk
meneruskan pekerjaan sebagai penulis karena selalu dikejar deadline.
Namun, ia tetap menulis cerpen dan puisi. Sesekali karyanya dimuat di
berbagai koran dan majalah, baik terbitan lokal maupun nasional (Jakarta).
Alon Buluek (de Verschrikkelijke Zeegolf)
Novel Alon Buluek (dalam bahasa Aceh yang berarti: Gelombang Laut yang Dahsyat) merupakan hasil karya yang diterbitkan. Novel yang diangkat dari kisah nyata saat tsunami melanda Aceh 2004 lalu itu ia sertakan dalam lomba penulisan novel remaja tahun 2005 silam yang dilaksanakan Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo) dan Radio Nederland Seksi Indonesia (Ranesi). Novel itu kemudian meraih juara ketiga dari 600 lebih naskah yang masuk.
Novel Alon Buluek (dalam bahasa Aceh yang berarti: Gelombang Laut yang Dahsyat) merupakan hasil karya yang diterbitkan. Novel yang diangkat dari kisah nyata saat tsunami melanda Aceh 2004 lalu itu ia sertakan dalam lomba penulisan novel remaja tahun 2005 silam yang dilaksanakan Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo) dan Radio Nederland Seksi Indonesia (Ranesi). Novel itu kemudian meraih juara ketiga dari 600 lebih naskah yang masuk.
Kendati novel remaja, namun, dalam perjalanannya novel itu disenangi
berbagai kalangan usia. Bahkan novel itu kini sudah diterjemahkan dalam
bahasa Belanda dan Inggris.
“Nama Alon Buluek saya dengar dari seseorang yang sering membaca
hikayat Aceh zaman dulu. Ternyata, kejadian seperti tsunami disebut
Alon Buluek atau gelombang yang dahsyat yang meluluhlantakkan semua
yang dilaluinya,” ucapnya.
Ayi mengatakan, lebih dari 70 persen cerita dalam Alon Buluek
merupakan kisah nyata baik yang dialami sendiri maupun rekan-rekannya.
Dia membutuhkan waktu hampir tiga bulan untuk menyelesaikan novel
setebal 119 halaman tersebut. Padahal, kalau dipadatkan, penyelesaian
buku itu hanya makan waktu satu bulan. Persoalannya, seperti yang
diakui Ayi, ia kerap harus meninggalkan penyelesaian novel karena
terlalu sedih bila melanjutkan. Kalah kesedihannya hilang, novel itu
digarap kembali. Tapi bila kesedihan datang, tulisan dibiarkan bahkan
sampai berminggu-minggu.
“Banyak yang bilang bahwa menulis bisa menjadi terapi bagi
kesembuhan luka. Tapi yang saya rasakan ketika itu, menulis berarti
membuka kembali luka yang ingin saya lupakan. Sering saya dihadapi pada
dilema ketika itu,” tutur Ayi.
Bagi Ayi, Alon Buluek adalah novel pertama yang diterbitkan yang
ditulis seorang diri. Tapi sebelumnya, dalam berbagai antologi cerpen
dan puisi bukunya sudah banyak beredar. Di antaranya, cerpen dalam
Antologi Sastra Putroe Phang (2002), puisi dalam Antologi Aceh dalam
Puisi (2003), puisi dalam Antologi Puisi Maha Duka Aceh (2005), puisi
dalam Antologi Puisi Lagu Kelu (2005), dan cerpen dalam Kumpulan
Cerpen, Bayang Bulan di Pucuk Mangrove (Dewan Kesenian Banda Aceh,
2006). Selain itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota
Lhokseumawe ini sudah mempublikasikan lebih dari 200 cerpennya di
berbagai majalah remaja di Jakarta.
Di sela kesibukannya sebagai jurnalis, Ayi masih menyempatkan diri
menulis novel yang sebagian besar diangkat dari kisah nyata selama
meliput di Aceh yang dikenal sebagai daerah konflik dan bencana.
“Meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma, ketika pers dibungkam, sastra
yang bicara. Banyak kejadian di Aceh yang tak bisa ditulis dalam bentuk
berita di tengah kondisi seperti sekarang. Saya memilih menulis dalam
bentuk fiksi,” ujar Ayi yang mengagumi karya Pramoedya Ananta Toer dan
juga karya penulis Aceh, Azhari.
Meskipun sempat menjadi anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP)
Kabupaten Aceh Utara, Ayi mengaku akan menjadikan profesi sebagai
penulis sebagai aset untuk gantungan hidup di usia senja. Ditanya
tentang impiannya saat ini, Ayi mengaku ingin menulis tentang jurnalis
di Aceh. “Setiap wartawan seharusnya mempunyai impian untuk menulis
buku. Berita-berita yang ditulis akan segera dilupakan orang. Tapi dengan buku sebuah isu bisa bertahan lebih lama,” ujar Ayi.
Dedy Ardiansyah >> Global | Medan
0 komentar:
Posting Komentar