Rabu, 06 Juni 2012

DOSEN UNIMAL SANG PENULIS BERPRESTASI

AYI JUFRIDAR : JADIKAN HOBI MENULIS SEBAGAI ASET


Siapa sangka, hobi yang awalnya terbangun karena ketiadaan tv di rumah dapat mengantarkan seseorang menjadi penulis berprestasi. Ayi Jufridar adalah pelakonnya.
Karena kecintaannya dalam membaca dan menulis, Ayi Jufridar meraih juara ketiga dalam lomba penulisan novel remaja tahun 2005 yang dilaksanakan Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo) dan Radio Nederland Seksi Indonesia (Ranesi). Novelnya yang berjudul Alon Buluek menyisihkan 600 lebih naskah yang masuk.

Alumnus Politeknik Negeri Lhokseumawe sejak kecil tidak pernah bermimpi muluk kalau dari hobinya itu mendapat apresiasi dari masyarakat. Karena ia tidak membekali diri dengan pendidikan di bidang tulis menulis sastra. Tapi karena sejak kecil sudah suka menulis, maka bakat itu terus terasah seiring dengan perkembangan dirinya.
“Suka menulis cerita fiksi sejak sekolah dasar. Tapi baru berani mengirim cerita pendeknya pada 1992 dan dimuat tahun itu juga di Majalah Aneka Yess! Hobi ini terbangun karena di rumah tidak memiliki TV. Satu-satunya hiburan ketika itu adalah majalah anak-anak,” ujar lelaki kelahiran 18 Agustus 1972 kelahiran Bireuen, sebuah kota di bagian utara Provinsi Aceh
Lelaki yang akrab dipanggil Ayi ini mulai serius menulis ketika kuliah di Politeknik Negeri Lhokseumawe sejak 1993 sampai 1996. Meski kuliah di bidang teknik, justru di kampus itu pula bakat dan talentanya di bidang sastra kian terasah. Apalagi di kampus itu ia kerap bertemu dengan sejumlah penulis Aceh yang kebetulan juga kuliah di sana. Pertemuan ini membuat dirinya mendapat teman untuk berdiskusi mengenai sastra.
“Masa-masa produktif saya menulis cerpen ketika kuliah di Politeknik, karena biaya kuliah dihasilkan dari menulis artikel dan cerpen di sejumlah majalah remaja terbitan Jakarta seperti Anita Cemerlang, Ceria, Aneka Yess!, Gadis, Kawanku, termasuk sejumlah tabloid perempuan seperti Nova, Wanita Indonesia, dan Aura,” kata Ayi.
Akhir tahun 1997, ia bekerja di Harian Serambi Indonesia, satu-satunya harian terbitan Aceh ketika itu. Ketika melamar, sebenarnya ia tidak memenuhi syarat karena pendidikan minimal S1, sementara saya D3. Tapi karena punya pengalaman menulis, akhirnya diterima sebagai koresponden lepas untuk wilayah Lhokseumawe dan sekitarnya. Pekerjaan sebagai wartawan membuat diri tidak nyaman untuk meneruskan pekerjaan sebagai penulis karena selalu dikejar deadline. Namun, ia tetap menulis cerpen dan puisi. Sesekali karyanya dimuat di berbagai koran dan majalah, baik terbitan lokal maupun nasional (Jakarta).
Alon Buluek (de Verschrikkelijke Zeegolf)
Novel Alon Buluek (dalam bahasa Aceh yang berarti: Gelombang Laut yang Dahsyat) merupakan hasil karya yang diterbitkan. Novel yang diangkat dari kisah nyata saat tsunami melanda Aceh 2004 lalu itu ia sertakan dalam lomba penulisan novel remaja tahun 2005 silam yang dilaksanakan Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo) dan Radio Nederland Seksi Indonesia (Ranesi). Novel itu kemudian meraih juara ketiga dari 600 lebih naskah yang masuk.
Kendati novel remaja, namun, dalam perjalanannya novel itu disenangi berbagai kalangan usia. Bahkan novel itu kini sudah diterjemahkan dalam bahasa Belanda dan Inggris.
“Nama Alon Buluek saya dengar dari seseorang yang sering membaca hikayat Aceh zaman dulu. Ternyata, kejadian seperti tsunami disebut Alon Buluek atau gelombang yang dahsyat yang meluluhlantakkan semua yang dilaluinya,” ucapnya.
Ayi mengatakan, lebih dari 70 persen cerita dalam Alon Buluek merupakan kisah nyata baik yang dialami sendiri maupun rekan-rekannya. Dia membutuhkan waktu hampir tiga bulan untuk menyelesaikan novel setebal 119 halaman tersebut. Padahal, kalau dipadatkan, penyelesaian buku itu hanya makan waktu satu bulan. Persoalannya, seperti yang diakui Ayi, ia kerap harus meninggalkan penyelesaian novel karena terlalu sedih bila melanjutkan. Kalah kesedihannya hilang, novel itu digarap kembali. Tapi bila kesedihan datang, tulisan dibiarkan bahkan sampai berminggu-minggu.
“Banyak yang bilang bahwa menulis bisa menjadi terapi bagi kesembuhan luka. Tapi yang saya rasakan ketika itu, menulis berarti membuka kembali luka yang ingin saya lupakan. Sering saya dihadapi pada dilema ketika itu,” tutur Ayi.
Bagi Ayi, Alon Buluek adalah novel pertama yang diterbitkan yang ditulis seorang diri. Tapi sebelumnya, dalam berbagai antologi cerpen dan puisi bukunya sudah banyak beredar. Di antaranya, cerpen dalam Antologi Sastra Putroe Phang (2002), puisi dalam Antologi Aceh dalam Puisi (2003), puisi dalam Antologi Puisi Maha Duka Aceh (2005), puisi dalam Antologi Puisi Lagu Kelu (2005), dan cerpen dalam Kumpulan Cerpen, Bayang Bulan di Pucuk Mangrove (Dewan Kesenian Banda Aceh, 2006). Selain itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Lhokseumawe ini sudah mempublikasikan lebih dari 200 cerpennya di berbagai majalah remaja di Jakarta.
Di sela kesibukannya sebagai jurnalis, Ayi masih menyempatkan diri menulis novel yang sebagian besar diangkat dari kisah nyata selama meliput di Aceh yang dikenal sebagai daerah konflik dan bencana. “Meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma, ketika pers dibungkam, sastra yang bicara. Banyak kejadian di Aceh yang tak bisa ditulis dalam bentuk berita di tengah kondisi seperti sekarang. Saya memilih menulis dalam bentuk fiksi,” ujar Ayi yang mengagumi karya Pramoedya Ananta Toer dan juga karya penulis Aceh, Azhari.
Meskipun sempat menjadi anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Utara, Ayi mengaku akan menjadikan profesi sebagai penulis sebagai aset untuk gantungan hidup di usia senja. Ditanya tentang impiannya saat ini, Ayi mengaku ingin menulis tentang jurnalis di Aceh. “Setiap wartawan seharusnya mempunyai impian untuk menulis buku. Berita-berita yang ditulis akan segera dilupakan orang. Tapi dengan buku sebuah isu bisa bertahan lebih lama,” ujar Ayi.

Dedy Ardiansyah >> Global | Medan

0 komentar: