Rabu, 06 Juni 2012

Tantangan Berat Pers Mahasiswa


Image: corbis.com
Image: corbis.com
DULU, ketika masa Orde Baru (Orba),  pers mahasiswa (persma) mampu menjadi media alternatif untuk melakukan kontrol sosial. Kebebasan pers umum waktu itu telah dibelenggu oleh kebijakan-kebijakan rezim Soeharto. Orba dengan ganas mengeluarkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)  untuk memberangus kebebasan pers pada masa itu. Hanya persma yang bisa bersuara dengan bebas.
Namun, di era reformasi gairah persma mulai meredup. Persma tak lagi mampu menjadi media alternatif yang berani bersuara kritis seperti pada masa Orba. Kini, gerak persma malah terbelenggu kebijakan birokrasi kampus.

Banyak kawan aktivis persma yang berbagi keluh-kesah soal kebijakan kampus yang membelenggu kebebasan mereka. Mereka tak akan mendapat suntikan dana dari kampus, jika karya jurnalistiknya menyudutkan pihak birokrasi. Karena faktor itu, kini persma tak lebih sebagai media untuk pencitraan kampus.

Ketajaman pena persma mulai tumpul. Persma tak mampu lagi menyuarakan kebenaran di dalam kampus. Sebagai pelarian, banyak persma yang memilih mengangkat isu-isu di luar kampus. Meminjam kata Musyafak Timur Banua, langkah ini justru menggiring persma menjadi ‘macan ompong’ di tengah makin ketatnya kompetisi media massa umum.

Persma kalah saing dengan pers umum lainnya.  Apalagi era reformasi membuka gerbang kebebasan seluas-luasnya kepada pers.  Persma layaknya makluk kecil di antara raksasa perusahaan media pers. Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, memberi keleluasaan untuk semua media pers, sehingga lebih terbuka, interaktif, dan kritis.

Pertumbuhan penerbitan koran di Indonesia pun mencapai kuantitas yang cukup tinggi. Kurang lebih 1.400 buah koran mencoba eksis di tengah persaingan ketat. Namun, di balik tumbuh suburnya media pers, banyak kalangan yang mempertanyakan kenetralan media-media tersebut. Pasalnya, tak sedikit media yang dikuasai oleh beberapa kelompok politik dan bisnis saja. Hanya 350 buah penerbit yang bekerja dengan sehat sesuai kode etik jurnalistik.

Hal inilah yang kemudian membuka peluang kembali kepada persma agar menjadi pers alternatif yang memberikan wacana yang cerdas kepada mahasiswa. Harapannya, penguasaan opini tak hanya memusat di kalangan kelompok politik dan bisnis saja. Tapi, untuk semua lapisan masyarakat.

Persma sekarang tak lagi dianggap khusus atau eksklusif. Persma harus mengacu pada prinsip pengelolaan pers pada umumnya. Meski pola pendanaan persma masih bergantung pada birokrasi kampus, hendaknya persma tetap independen. Jika terkendala kebijakan birokrasi kampus, maka persma harus siap hidup mandiri dengan menggandeng erat sponsorship.

Era Teknologi

Sedini mungkin, persma perlu mengantisipasi perkembangan industri media yang begitu pesat. Kemajuan teknologi informasi menjadi peluang sekaligus tantangan bagi persma. Saat ini, media cetak kian dijauhi pelanggan. Media elektronik seperti televisi dan cyber lebih diminati khalayak.

Seyogianya, persma mampu memanfaatkan momentum kelahiran teknologi informasi. Dengan keterbatasan dana yang ada, persma perlu mencoba mengepakkan sayapnya ke arah konvergensi pers umum.

Dengan begitu, persma semakin gesit memberi sajian informasi kepada mahasiswa. Sehingga mampu memberi angin perubahan terhadap lingkungan kampus dalam tempo yang singkat. Selain itu, persma akan lebih berani menyuarakan kebenaran dan membela kepentingan masyarakat luas, terutama kalangan kampus.

Profesional

Banyak kalangan yang menilai persma belum profesional. Persma tak lebih sebagai wadah minat dan bakat mahasiswa di bidang tulis-menulis. Ia layaknya tempat berlatih mahasiswa sebelum mereka terjun ke dunia wartawan profesional.

Namun, pada kenyataannya kerja jurnalistik harus memiliki kompetensi dan profesionalisme yang didasarkan kode etik jurnalistik. Sehingga, mau tidak mau persma harus berjuang menjadi wartawan dan pengelola pers yang profesional.

Dalam buku pedoman Standar Kompetensi Wartawan, Dewan Pers menyebutkan ada tiga bidang kompetensi yang harus dimiliki wartawan.  Pertama, kesadaran (awareness) tentang etika jurnalistik dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi. Kedua, pengetahuan (knowledge) tentang teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum, dan pengetahuan khusus. Dan ketiga, keterampilan (skills) mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi (berita).

Kompetensi wartawan ini adalah hal mendasar yang harus dipahami, dimiliki, dan dikuasai seorang wartawan. Tanpa terkecuali aktivis persma. Persma dituntut melaksanakan tantangan berat ini untuk mencapai derajat profesional. Selamat menjawab tantangan!

penulis
Sekretaris Redaksi Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat

0 komentar: