Senin, 04 Juni 2012

Perubahan pola KKN Unimal Dari Dugaan Tidak Transparan Hingga Diusir Keuchik

Lhokseumawe | Acehtraffic.com - Perubahan pola Kuliah Kerja Nyata [KKN-PPM Unimal] tahun 2012 dari cet Meulasah ke social mapping potensi gampong di Kota Lhokseumawe dirundung berbagai masalah, baik kerjasama yang tidak transparan, isu dimanfaatkan hingga aparat desa menolak gampongnya disurvey.
Isu yang beredar melalui pesan singkat [SMS] bahwa LPPM Unimal bekerjasama dengan Pemko Lhokseumawe pengelolaan anggaran dinilai tidak transparan, meski saat evaluasi panitia dan LPPM bersumpah demi Allah tidak ada uang dari Pemko, entah karena Unimal memang tidak pernah transparan sehingga sulit dipercaya?
Dalam social mapping pihak LPPM [Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat] Unimal bekerja sama dengan Pemko Lhokseumawe memanfaatkan keringat mahasiswa melalui program KKN PPM tahun 2012. Kritikan tajam mahasiswa terhadap LPPM Unimal mulai mencuat ke permukaan sehingga evaluasi pun digelar di Aula Meurah Silu Lancang garam Kota Lhokseumawe, Sabtu, 19 Mei 2012, pagi.

Dalam evaluasi tersebut debat kusir memang tidak terjadi, namun mahasiswa seperti hendak mencari aman. Mereka hanya cenderung duduk diam mendengar ceramah panitia KKN sembari manggut-manggut meski sesekali tanpa rasa sungkan panitia menendang mahasiswa dengan kata kata.
Keruwetan menghadapi pola pikir masyarakat yang cenderung materialistis akibat desakan ekonomi ditambah dengan isu pesan singkat yang beredar wajar mahasiswa tersebut untuk mempertanyakan apakah keringat mereka dijual dan apakah mereka hanya mendapat capek atau hanya sekedar memperoleh nilai akademik semata? maka mahasiswa meminta Unimal sedikit transparan.

Kehadiran para NGO lokal maupun asing pasca tsunami 8 tahun yang lalu merupakan akar dari perubahan pola pikir masyarakat Aceh pada umumnya dan warga Kota Lhokseumawe khususnya. Mereka dengan membawa sejumlah uang yang tak kalah banyak dengan hutang negara dikucurkan untuk setiap program mulai menggali sumur, WC hingga parit warga digaji. 

Budaya gampang mengucurkan sejumlah uang terhadap seluruh program kerja perlahan-lahan mengubah mindset masyarakat. Budaya gotong royong yang telah mengakar dari nenek moyang sekarang harus terempas ke laut. Tidak ada upah, ogah bekerja meskipun untuk pembangunan yang akan bermanfaat bagi dirinya maupun tetangganya sendiri sekalipun. Seperti menggali selokan yang berada didepan rumahnya jika tidak diberi upah tak ayal lubang parit itu mustahil akan tergali, nyan pue peng tamong pue peng teubiet?
Namun sungguh pun demikian pentingnya komunikasi yang baik harus dijalin dengan semua pihak agar kesalah pahaman tidak terjadi, disamping itu rendahnya sosialisasi dan dukungan setengah hati pemerintah setempat sehingga perubahan pola KKN tidak diketahui oleh publik kota Lhokseumawe yang yang merupakan objek survey mapping. 

Seperti yang terjadi di gampong Blang Pulo, dosen pendamping lapangan mengatakan “Blang Pulo memang sangat alergi yang namanya mahasiswa,” ungkap dosen DPL dalam rapat evaluasi.

Hal senada juga terjadi di Blang Mangat, pemerintah Gampong itu juga menentang kedatangan mahasiswa untuk survey mapping “data nyoe data jeh, jakwoe, hanjeut cok data hinoe” ungkap dosen pendamping itu meniru ungkapan Keuchik. “kita mapping, bukan me peng [bawa uang] sehingga tidak diterima oleh aparat desa,” tambah mahasiswa.
Ditentangnya kedatangan para mahasiswa untuk servey mapping tak terlepas dari sikap apatis masyarakat Kota akibat sering ditipu oleh mafia proposal, hal tersebut diakui Lukman warga Meunasah Blang Muara Dua “masyarakat tanyoe awam sabab tom keunong peungeut le awak peugot proposal, puelom mahasiswa hana ime proyek jadi hana pue harap,” kata bapak beranak empat itu.

Menurutnya, program mapping bagus bila implementasinya mampu dijalankan pihak Unimal, namun hasilnya tidak lansung bisa dilihat seperti mahasiswa KKN dulunya “cet Meulasah”, tapi butuh waktu dan dalam survey tersebut sangat aspiratif melihat pendapatan masyarakat sangat minim dibandingkan pengeluaran untuk memenuhi kehidupan sehari harinya.

Semua itu tidak berarti bagi aparat desa yang memikirkan materi seperti yang diberikan LSM lokal maupun NGO asing pasca stunami telah merubah budaya kita, awamnya mindset masyarakat kita menjadi alasan paranoid mahasiswa yang tidak sanggup menghadapi masyarakat. | AT | IS |

0 komentar: