Sepotong sejarah
Republik menyangkut Aceh yang banyak dilupakan. Yaitu soal peran Aceh
penyelamatan krisis fatal pada akhir tahun 1949. Bila ini penulis
kemukakan, bukan penulis ingin Aceh dipuji. Tetapi karena sejarah harus
ditulis apa adanya, tidak boleh ditutup, distorted atau direkayasa.
Sejarah
mesti murni untuk diwariskan kepada generasinya. Dan apa yang penulis
lihat meski itu singkat, tidak terdapat dalam buku- buku sejarah RI
yang diajarkan di sekolah-sekolah. Juga penulis tidak melihjat di media
yang ditulis sejarawan kita, hatta oleh ahli sejarah Aceh sendiri.
Penulis
bukanlah ahli sejarah, tapi salah seorang pelaku sejarah Aceh. Dan
kesempatan ini mencoba
memaparkan apa yang banyak dilupakan orang. Misalnya, tentang perjuangan Tgk Muhammad Daud Beureueh (akrab disapa Abu). Beliau ulama besar, bukan saja bersaja untuk Aceh, tapi untuk republik tercinta ini. Ia tidak saja berhasil menegmbangkan syiar Islam secara luas tapi juga menjadi pemimpin rakyat (people leader). Abu membangun "Aceh Baru" yang demokratis, bebas dari penghisapan atau penindasan manusia oleh manusia (exploitation delhomme par home). Sedangkan bagi Republik Indonesia beliau berjasa sebagai penyelamat. Sejarah itu yang tak tertulis di buku-buku sejarah sekolah mana pun. Kecuali beliau diklaim sebagai pemerontak Republik hingga akhir hayatnya. Begitu juga dua pejuang penyalamat lainnya, yaitu Mr Sjafruddin Prawiranegara, Kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan LN Palar, Duta Besar Indonesia di PBB. Sekilas tentang sejarah, bahwa pada akhir tahun 1949, RI ditimpa kritis yang fatal. Hampir seluruh wilayah sudah diduduki Belanda. lbukota Republik pun sudah dikuasainya. Presiden dan wakil Presiden sudah ditangkap Belanda dan dibuang --kalau saya tidak salah dibuang ke Pulau Bangka.
memaparkan apa yang banyak dilupakan orang. Misalnya, tentang perjuangan Tgk Muhammad Daud Beureueh (akrab disapa Abu). Beliau ulama besar, bukan saja bersaja untuk Aceh, tapi untuk republik tercinta ini. Ia tidak saja berhasil menegmbangkan syiar Islam secara luas tapi juga menjadi pemimpin rakyat (people leader). Abu membangun "Aceh Baru" yang demokratis, bebas dari penghisapan atau penindasan manusia oleh manusia (exploitation delhomme par home). Sedangkan bagi Republik Indonesia beliau berjasa sebagai penyelamat. Sejarah itu yang tak tertulis di buku-buku sejarah sekolah mana pun. Kecuali beliau diklaim sebagai pemerontak Republik hingga akhir hayatnya. Begitu juga dua pejuang penyalamat lainnya, yaitu Mr Sjafruddin Prawiranegara, Kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan LN Palar, Duta Besar Indonesia di PBB. Sekilas tentang sejarah, bahwa pada akhir tahun 1949, RI ditimpa kritis yang fatal. Hampir seluruh wilayah sudah diduduki Belanda. lbukota Republik pun sudah dikuasainya. Presiden dan wakil Presiden sudah ditangkap Belanda dan dibuang --kalau saya tidak salah dibuang ke Pulau Bangka.
Mr
Sjafruddin Prawiranegara yang sempat diangkat sebagai Kepala Pemerintah
Republik Indonesia, bergegas-gegas mengungsi ke Bukit Tinggi. Karena
merasa tidak aman di Bukit Tinggi, beliau mengungsi ke Aceh, sebuah
wilayah Republik yang belum dapat diduduki oleh Belanda. Jadi, masih
tetap sebagai territory legal dari Republik Indonesia. Mengikuti Pak
Sjafruddin Prawiranegara Tinggi dari ketiga Angkatan pun mengungsi ke
Aceh. Dari Staff Angkatan Darat Kol Hidayat, dari staff Angkatan Udara
Suyoso, dan dari Staff Angkatan Laut Komodor Subiyakto. Pada kali
pertama pemimpin-pemimpin Aceh yang terdiri dari Abu Beureueh, Tgk
Abdul Wahab Seulimum, Hasan Ali dan penulis sendiri berkunjung kepada
Mr Sjafruddin Prawiranegara.
Pertama-tama
yang dituntut adalah membentuk Propinsi Aceh, yang dijanjikan oleh
Presiden Soekarno. Di depan Abu Beureueh pada waktu beliau datang ke
Aceh pada tahun 1947, Soekarno bersumpah dua kali, ternyata dua tahun
ditunggu, janji itu tidak dipenuhi.
Saat itu Pak Sjaf (panggilan Syafruddin) menjawab "jangan
khawatir, dalam dua tiga hari ini, Propinsi Aceh akan saya bentuk,
seperti yang diinginkan oleh rakyat Aceh. Seperti yang dijanjikan",
Propinsi Aceh pun terbentuklah dengan PP Pengganti Undang-undang yang
mulai berlaku pada tanggal 8 Desember 1949. Sebagai Gubernur Aceh yang
Pertama diangkat Abu Beureueh. Beliau dibantu oleh sebuah badan yang
disebut Badan Pemerintah Provinsi Aceh, yang terdiri dari T M Amien,
Orang Kaya Salamuddin, A.R. Hasjim dan Saya sendiri. Di
seluruh Aceh rakyat bergembira karena keinginannya yang sejak lama
tercapai, dan terbentuknya Provinsi Aceh, gampanglah bagi Jendral Mayor
Tituler, Mantan Gubernur Militer Aceh, langkat dan tanah Karo Abu
beureueh Sebagai Gubernur Areh sekarang untuk mengajak rakyat berjuang
mati-matian mempertahankan Aceh jangan sampai dapat diduduki Belanda.
Sebab kalau Aceh dapat diduduki Belanda, berarti tamatlah riwayat
Republik Indonesia. Untuk
dimaklumi bahwa pertarungan yang sengit antara Aceh dan Belanda
berpusat di perbatasan Aceh-Sumatera Utara (dikenal Medan Area). Yang
dipertahankan dengat gigih oleh rakyat Aceh bersama TNI Devisi X Aceh,
Barisan- Barisan mujahidin yang ketuanya Abu Beureueh, TP (Tentara
Pelajar) dan TPI (Tentara Pelajar Islam). Maka berkat pimpinan yang
solid dari Abu Beureueh pertahanan rakyat Aceh begkitu gigih, dan Medan
Area tak bisa ditembusi tentara Belanda. Penjajah akhirnya kembali ke
baraknya di kota Medan. Maka Republik Indonesia yang berada sekarat
hidup kembali. Semangat
juang rakyat Aceh yang gigih diketahui LN Palar, Duta Besar RI di PBB
yang sebelumnya sudah loyo, menjadi bangkit kembali. Beliau segera
meminta PBB untuk memerintahkan kembali kedaulatan atas seluruh
territory Republik Indonesia dikembalikan kepada pemerintah Indonesia
Serikat, pada 17 Agustus 1950. Sayang sekali pada hari upacara
penyerahan kembali kedaulatan atas RI kepada Pemerintah Indonesia oleh
Belanda, Jendral Mayor Tituler Abu Daud yang saya anggap salah seorang
penyelamat Republik Indoensia tidak diundang ke upacara tersebut.
Perlu
dijelaskan bahwa sebelum penyerahan kedaulatan, di Aceh terjadi heboh
besar, karena dibubarkan Propinsi Aceh. Heboh ni yang tadinya terjadi
di Kota Raja (Banda Aceh sekarang) meluas sampai ke seluruh Aceh. Maka
dilayangkanlah poster-poster dan Resolusi- resolusi kepada pemerintah.
Heboh ini tidak dapat diatasi hingga terpaksalah pembesar-pembesar
Negara dari pusat datang ke Aceh untuk menyenangkan rakyat, antara lain
Mr Assaat (Mendagri)--namun rakyat tidak lagi mendengarkannya. Maka
Bung Hatta yang kembali menjadi Wakil Presiden Negara Kesatuan NRI
datang ke Aceh. Rakyat juga tidak menghiraukan apa yang dikatakannya.
Abu
Beureueh Mantan Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo, dan mantan
Gubernur Aceh, menyatakan dengan tegas " Bahwa kalau Provinsi Aceh
tidak dibentuk kembali, saya akan naik ke Gunung untuk membentuk
Provinsi Aceh menurut keinginan kami sendiri". Zaini Bakri, Bupati Aceh
Besar juga dengan tegas mengatakan kalau provinsi Aceh tidak kembali
dibentuk pegawai RI di seluruh Aceh meletakan jabatan. Karena
rakyat tidak bisa ditenangkan, Muhammad Natsir (Perdana Menteri Kabinet
pertama NRI datang ke Aceh). Beliau mula - mula mengatakan pertemuan
dengan petinggi - petinggi Aceh, kemudian melalui radio. Ia mengajak
rakyat supaya tenang dan tidak khawatir. Beliau akan berusaha sekuat
tenaga akan terbentuk kembali Propinsi Aceh. "Secara Intergral",
artinya membentuk Propinsi di seluruh Indonesia. Betul-betul Natsir
telah mengubah situasi yang panas menjadi suasana yang sejuk sehingga
rakyat di seluruh Aceh tenang kembali, dan dengan penuh kepercayaan
menunggu janji Perdana Menteri Pertama Natsir itu.
Sayang
kabinet Natsir setelah kira-kira satu tahun bekerja, dijatuhkan oleh
anggota - anggota DPR yang tidak menyetujui Provinsi Aceh yaitu PKI,
PNI, Partai Indonesia Raya dan beberapa partai lainnya. Harapan rakyat
Aceh untuk tegaknya sebuah Provinsi seperti yang diinginkan di tanah
Rencong buyarlah semua. Provinsi Aceh baru dibentuk kembali setelah Abu
Beureueh "naik gunung" (sebagai yang ditegaskan di depan Bung Hatta),
beberapa waktu setelah jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo ( dari PNI)
yang menggantikan Kabinet Natsir.
Namun
ternyata sumpah Soekarno bukanlah untuk membentuk propinsi Aceh,
melainkan sumpah Soekarno untuk menipu Teungku Muhammad Daud Beureueh
agar menyokong dan membantu RI. Dimana cerita sumpah Soekarno dihadapan
Teungku Muhammad Daud Beureueh itu adalah:
"Teungku Daud Beureueh pernah menyatakan: "Lebih setahun sesudah proklamasi kemerdekaan, pada waktu tentara Belanda dan Sekutu sedang melancarkan serangan secara besar-besaran, dimana para pemuda kita sudah ribuan bergelimpangan gugur di medan perang, datanglah Sukarno ke Aceh...Dia datang menjumpai saya menerangkan peristiwa-peristiwa dan perkembangan revolusi."
Dalam pertemuan itu saya tanya Sukarno: "Untuk apa Indonesia merdeka?" Sukarno menjawab: "Untuk Islam kak". Dia memanggil kakak kepada saya. Saya tanya lagi, "betulkah ini?". Jawabnya, "betul kak". Saya tanya sekali lagi, "betulkah ini?". Dia jawab, "betul kak". Saya ulangi lagi, "betulkah ini ?".
Pada waktu inilah Sukarno berikrar: "Kakak! Saya adalah seorang Islam. Sekarang kebetulan ditakdirkan Tuhan menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama yang baru kita proklamasikan. Sebagai seorang Islam, saya berjanji dan berikrar bahwa saya sebagai seorang presiden akan menjadikan Republik Indonesia yang merdeka sebagai negara Islam dimana hukum dan pemerintahan Islam terlaksana. Saya mohon kepada kakak, demi untuk Islam, demi untuk bangsa kita seluruhnya, marilah kita kerahkan seluruh kekuatan kita untuk mempertahankan kemerdekaan ini".
(S.S. Djuangga Batubara, Teungku Tjhik Muhammad Dawud di Beureueh Mujahid Teragung di Nusantara, Gerakan Perjuangan & Pembebasan Republik Islam Federasi Sumatera Medan, cetakan pertama, 1987, hal. 76-77)
Ternyata akhirnya, ikrar Soekarno itu hanyalah alat penipu saja, karena apa yang disumpahkan Soekarno: "akan menjadikan Republik Indonesia yang merdeka sebagai negara Islam dimana hukum dan pemerintahan Islam terlaksana" hanyalah tipu muslihat saja. Sehingga Teungku Muhammad Dawud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia pada tanggal 20 September 1953, yang sebagian isinya menyatakan bahwa "Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam."
Oleh M. Nur El Ibrahimy
0 komentar:
Posting Komentar